Karya
Tulis Ilmiah
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN AMBULASI DINI PADA PASIEN PASCA OPERASI FRAKTUR
EKSTREMITAS BAWAH
Oleh :
Kelompok 7 / S1-3B
1. Ajeng Kristia Ardini 101.0004
2. Aruna Irani
101.0010
3. Christin Shelvy Novianti 101.0016
4. Farah Elva Febriana 101.0040
5. Yusuf Afandi
101.0118
PROGRAM STUDI S1
KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh cidera, trauma yang
mengakibatkan fraktur dapat berubah trauma langsung maupun tidak langsung
(Sjamsuhidat & Jong, 2005). Penanganan fraktur pada ekstremitas bawah dapat
dilakukan secara konservatif dan operasi sesuai dengan tingkat keparahan
fraktur dan sikap mental pasien (Smeltzer & Bare, 2002). Operasi adalah
tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau
menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani (Sjamsuhidat & Jong, 2005).
Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada pasien fraktur meliputi reduksi
terbuka dan fiksasai interna (open redaction and internal fixation /ORIF).
Sasaran pembedahan yang dilakukan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan
gerakan, stabilitas, mengurangi nyeri dan disatibilitas (Smeltzer & Bare,
2002). Ambulasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada
pasien pasca operasi dimulai dari bangun dan duduk disisi tempat tidur sampai
pasien turun dari tempat tidur, berdiri dan mulai belajar berjalan dengan
bantuan alat sesuai kondisi pasien (Roper, 2002). Beberapa literatur
menyebutkan manfaat ambulasi adalah untuk memperbaiki sirkulasi, mencegah atau
mengurangi komplikasi imobilisasi pasca operasi, mempercepat proses pemulihan
pasien pasca operasi (Craven & Hirlen, 2009). Catatan perbandingan
memperlihatkan bahwa frekwensi nadi dan suhu tubuh kembali kenormal lebih cepat
bila pasien berupaya untuk mencapai tingkat aktivitas normal praoperatif secara
mungkin. Akhirnya lama pasien dirawat dirumah sakit memendek dan lebih murah,
yang lebih jauh merupakan keuntungan bagi rumah sakit dan pasien (Brunner &
Suddarth, 2002).
Menurut Saryono (2008) keterbatasan ambulasi akan
menyebabkan otot kehilangan daya tahan tubuh, penurunan massa otot dan
penurunan stabilitas. Pengaruh penurunan kondisi otot akibat penurunan
aktivitas fisik akan terlihat jelas dalam beberapa hari. Massa tubuh yang
membentuk sebagian otot mulai menurun akibat peningkatan pemecahan protein.
Pada individu normal dengan kondisi tirah baring akan mengalami keterbatasan
gerak fisik (Perry & Potter, 2006).
Dukungan keluarga dan melibatkan orang terdekat
selama perawatan meminimalkan efek gangguan pisikososial (Saryono, 2008). Efek
gangguan psikososial seperti orang yang defresi, atau cemas sering tidak tahan
melakukan aktivitas atau mobilisasi, karena mereka mengeluarkan energy yang
cukup besar sehingga mudah lelah (Perry & Potter, 2006). Menurut penelitian
Yanti (2010) dukungan sosial mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pada pasien
pasca operasi ekstremitas bawah. Kurang pengetahuan tentang kegunaan pergerakan
fisik merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik
(Saryono, 2008).
Menurut World Health Organization (WHO)
(2004) dalam penelitian Nasution (2010) cidera akibat kecelakaan lalu lintas
tertinggi dijumpai beberapa Negara Amerika Latin (41, 7%), Korea Selatan
(21,9%), Thailand (21%). Di Indonesia kecelakaan lalu lintas meningkat dari
tahun ketahun. Menurut data Direktorat Keselamatan Transformasi Darat
Departemen Perhubungan (2005) jumlah korban kecelakaan lalu lintas tahun 2005
terdapat 33.827 orang. Data Kepolisian RI tahun 2009 terdapat 57.726 kasus kecelakaan
di jalan raya, maka dalam setiap 9,1 menit sekali terjadi satu kasus
kecelakaan. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 organisasi kesehatan tingkat
dunia WHO menetapkan sebagai “Dekade Tulang dan Persendian” (Ariotejo, 2009).
WHO mencatat, hingga saat ini sebanyak 50 juta orang lainnya menderita luka
berat. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab fraktur (patah tulang)
terbanyak (Departemen Perhubungan, 2010). Dalam penelitian ini faktor-faktor
yang diteliti faktor nyeri, dukungan keluarga, dan pengetahuan.
1.2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
pelaksanaan ambulasi dini?
b.
Bagaimana penatalaksanaan
pasien pasca operasi fraktur
ekstremitas bawah?
c.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pada pasien pasca operasi fraktur
ekstremitas bawah?
BAB
2
TINJAUAN
TEORI
2.1.
Konsep Dasar Fraktur
2.1.1.
Definisi Fraktur
Batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur.
Fraktur merupakan suatu kondisi dimana terputusnya kontinuitas jaringan tulang yg umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dlm
buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas
tulang yg disebabkan tekanan eksternal yg datang lebih besar dr yg dpt diserap
oleh tulang. Pernyataan ini sama yg diterangkan dlm buku Luckman and Sorensen’s
Medical Surgical Nursing. Sedangkan
menurut Smeltzer (2002) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan
tulang, dan jaringan lunak disekitarnya akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila
seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang (Sylvia A. Price, 1999). Pada beberapa keadaan trauma
muskuloskeletal, sering fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan. Dislokasi atau
luksasio adalah kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi
secara komplet/lengkap. Fraktur dislokasi diartikan dengan kehilangan hubungan
yang normal antara kedua permukaan sendi disertai fraktur tulang persendian
tersebut. (Jeffrey M. Spivak et al, 1999).
Disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh
trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.
2.1.1
Etiologi
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi
kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa
tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan
membengkok yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang
yang menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi
vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah, misalnya pada badan
vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak.
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.
Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di
bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka
yang disebabkan kecelakaan kendaraan bermotor.
Pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis
yang terkait dengan perubahan hormon pada menupause.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa fraktur terjadi karena 3 hal yaitu :
a)
Kekerasan
langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pd titik
tjdnya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
b)
Kekerasan tdk
langsung
Kekerasan tdk langsung
menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c)
Kekerasan
akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
2.1.2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepituis, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna. Gejala umum fraktur adalah :
a)
Nyeri
terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk badai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b)
Setelah
terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigit seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya
otot.
c)
Pada
fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
d)
Saat
ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan fragmen yang
lainnya.
e)
Pembengkakan
dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengakibatkan fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.
2.1.3
Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat
sangat bervariasi tetapi utk alasan yg praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1) Berdasarkan sifat fraktur (luka
yang ditimbulkan)
a.
Faktur
tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
b.
Fraktur
terbuka (open/ compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2)
Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur
a.
Fraktur
komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b.
Fraktur
inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
1. Hair
line fraktur (patah garis rambut)
2. Buckle
atau torus fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa di bawahnya.
3. Green
stick fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang
terjadi pada tulang panjang.
3)
Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a.
Fraktur
transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b.
Fraktur
oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
c.
Fraktur
spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d.
Fraktur
kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e.
Fraktur
avulsi : fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
4) Berdasarkan jumlah garis patah
a.
Fraktur
komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b.
Fraktur
segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c.
Fraktur
multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
5) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a.
Fraktur undisplaced (tidak bergeser) :
garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih
utuh.
b.
Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
1. Dislokasi
ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
2. Dislokasi
ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
3. Dislokasi
ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
6) Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang
terbagi menjadi tiga bagian : 1/3 proksimal; 1/3 medial; 1/3 distal.
a.
Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
b.
Fraktur patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
1.
Tingkat
0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
2.
Tingkat
1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3.
Tingkat
2 : fraktur yang
lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4.
Tingkat
3 : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.
a)
Komplikasi
Awal
a.
Kerusakan
Arteri
Pecahnya
arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.
Kompartement
Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain
itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c.
Fat Embolism
Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d.
Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.
Avaskuler
Nekrosis
Avaskuler
Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f.
Shock
Shock
terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pd fraktur.
b)
Komplikasi
Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan
fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
2)
Nonunion
Nonunion
merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion
merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion
dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
2.1.4
Proses Penyembuhan
Proses penyembuhan
tulang diantaranya adalah :
a)
Hematom
Dari pembuluh darah yang pecah, dalam
24 jam mulai pembekuan darah dan terjadi
hematoma di sekitar fraktur. Setelah 24 jam suplai darah ke ujung fraktur
meningkat, hematoma ini mengelilingi fraktur dan tidak
diabsorbsi selama penyembuhan tapi berubah dan berkembang menjadi granulasi.
b)
Proliferasi sel
Sel sel dari
lapisan dalam periosteum berproliferasi pada
sekitar fraktur, di mana sel sel ini menjadi
precusor dari osteoblast, osteogenesis ini
berlangsung terus, lapisan fibrosa periosteum melebihi tulang. Setelah beberapa
hari kombinasi dari periosteum yang meningkat dengan
fase granulasi membentuk collar di ujung fraktur.
c)
Pembentukan callus
Enam sampai sepuluh
hari setelah fraktur jaringan granulasi berubah dan membentuk callus. Sementara
pembentukan cartilago dan matrik tulang diawali dari
jaringan callus yang
lunak. Callus ini bertambah banyak, callus sementara meluas, menganyam massa
tulang dan cartilago sehingga diameter tulang melebihi normal. Hal ini
melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan callus sementara
ini meluas melebihi garis fraktur.
d)
Ossification
Callus yang menetap / apermanen menjadikan tulang kaku karena adanya penumpukan garam garam calcium
dan bersatu bersama ujung ujung tulang. Proses
ossifikasi ini mulai dari callus bagian luar kemudian bagian dalam
dan terakhir bagian tengah. Proses ini terjadi
selama 3 -10 minggu.
e)
Konsolidasi dan remodeling
Pada
waktu yang
sama pembentukan tulang yang
sebenarnya callus dibentuk dari aktivitas osteoblast dan osteoklast. Kelebihan kelebihan tulang seperti
dipahat dan diabsorbsi dari callus.
2.1.5
Faktor Mempengaruhi Penyembuhan
Proses
pembentukan lagi ditentukan oleh beban tekanan dari
otot. Reduksi fragmen tulang yang bergeser harus benar‑benar akurat dan
dipertahankan dengan sempuma agar penyembuhan benar‑benar terjadi. Tulang yang
terkena harus mempunyai peredaran darah yang rnemadai. Usia pasien dan jenis
fraktur juga berpengaruh pada waktu penyembuhan. Secara umum, patah pada tulang
pipih (pelvis, skapula) sembuh cukup cepat. Patah pada ujung tulang panjang, di
mana tulang lebih vaskuler (pertengahan batang tulang panjang). Pembebanan
berat badan akan merangsang penyembuhan pada fraktur panjang yang telah stabil
pada ekstremitas bawah. Selain itu, aktivitas akan meminimalkan terjadinya
osteoporosis yang berhubungan dengan aktivitas (reduksi masa total,
menghasilkan tulang porotik dan rapuh akibat ketdkseimbangan homeostasis,
pergantian tulang). Tabel 64‑1, menunjukkan perkiraan waktu imobilisasi yang
diperlukan untuk penyatuan pada jenis fraktur yang biasa.
Bila penyembuhan fraktur terhambat, waktu penyatuan
tulang mengalami keterlambatan atau berhenti total. Faktor yang dapat
menghambat penyembuban meliputi asupan
darah yang tak memadai ke tempat fraktur atau jaringan sekitarnya, jarak antara
fragmen tulang yang ekstensif, imobilisasi tulang yang tidak memadai, infeksi,
komplikasi dari penanganan, dan kelainin metabolisme.
Penyembuhan dipengaruhi oleh :
1.
Nutrisi adekuat.
2.
Kalsium.
3.
Posfor.
4.
Protein.
5.
Vitamin D.
6.
Penyakit sistemik à penyakit pd vaskuler à menurunkan suplai darah pada
saat penyembuhan.
7.
Penurunan estrogen.
2.1.6
Pemeriksaan Penunjang
a.
Radiologi pada dua bidang (cari lusensi
dan diskontimuitas pada korteks tulang).
b.
Tomografi, CT Scan, MRI (jarang).
c.
Ultrasonografi dan scan tulang dengan
radioisotop. (scan tulang terutama berguna ketika radiologi/ CT Scan memberikan
hasil negatif pada kecurigaan fraktur secara klinis.
2.1.7
Penatalaksanaan
- Terapi
konservatif
a. Proteksi
saja
Misalnya
mitella utk fraktur collum chirurgicum humeri dengan kedudukan baik.
b. Immobilisasi
saja tanpa reposisi
Misalnya
pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkoplit dan fraktur dengan kedudukan
baik.
c. Reposisi
tertutup dan fiksasi dengan gips
Misalnya
fraktur distal radius, immobilisasi dalam pronasi penuh dan fleksi pergelangan.
d. Traksi
Traksi
dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga penuh / dipasang gips
setelah tidak sakit lagi.
- Terapi
operatif
Terapi
operatif dengan reposisi secara tetrtutup dengan bimbingan radiologis.
a. Reposisi
tertutup – Fiksasi externa
Setelah
reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intraoperatif maka dipasang alat
fiksasi externa.
b. Reposisi
tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna, misalnya reposisi
tertutup fraktur condylair humerus pada anak diikuti dengan pemasangan paralel
pins. Reposisi tertutup fraktur colum pada anak diikuti pinning dan
immobilisasi gips. Cara ini sekarang terus berkembang menjadi “Close Nailing”
pada fraktur femur dan tibia yaitu pemasangan fiksasi interna intra meduller
(pen) tanpa membuka frakturnya.
a. Therapi
operatif dengan membuka frakturnya
1) Reposisi
terbuka dan fiksasi interna à ORIF (Open reduction and internal
fixation)
2) Keuntungan
cara ini adalah : reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
3) Indikasi
ORIF :
a) Fraktur
yang tdk bisa sembuh atau bahaya avanculair tinggi misalnya : fraktur talus dan fraktur collum
femur
b) Fraktur
yang tidak bisa direposisi tertutup, misalnya : fraktur avulsi dan fraktur
dislokasi
c) Fraktur
yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan, misalnya ; fraktur monteggia,
fraktur galeazzi, fraktur antebrachi, dan fraktur pergelangan kaki
d) Fraktur
yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang glabih baik dengan operasi,
misalnya : fraktur femur.
b. Excisional
Arthrplasty
Membuang
fragmen yang patah yang membentuk sendi, misalnya : fraktur caput radii pada
org dewasa, dan fraktur collum femur yang dilakukan operasi.
c. Excisi
fragmen dan pemasangan endoprosthesis
1) Dilakukan
excisi caput femur dan pemasangan endoprosthesis / yang lainnya.
2) Sesuai
tujuan pengobatan fraktur yaitu untuk mengembalikan fungsi maka sejak awal
harus dipertimbangkan latihan-latihan untuk menceegah atropi otot dan kekakuan
sendi, disertai mobilisasi dini.
- Pengobatan
fraktur terbuka
Fraktur
terbuka adalah suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan dengan segera.
Tindakan sugah harus dimulai dari fase pra - Rumah sakit :
a. Pembidaian.
b. Menghentikan
perdarahan dengan verban tekan.
c. Mengehentikan
perdarahan besar dengan klem.
Tiba di UGD rumah sakit harus segera diperiksa
menyeluruh oleh karena 40% dari fraktur terbuka merupakan kasus polytrauma.
Tindakan life-saving harus segera didahulukan dalam rangka kerja terpadu (Team
– work).
2.2.
Konsep Dasar Ambulasi Dini
2.2.1.
Pengertian Ambulasi Dini
Ambulasi dini merupakan
tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien pasca operasi dimulai dari
bangun dan duduk disisi tempat tidur sampai pasien turun dari tempat tidur,
berdiri dan mulai belajar berjalan dengan bantuan alat sesuai kondisi pasien.
(Roper, 2002). Beberapa literatur menyebutkan manfaat ambulasi adalah untuk
memperbaiki sirkulasi, mencegah atau mengurangi komplikasi imobilisasi pasca
operasi, mempercepat proses pemulihan pasien pasca operasi (Craven &
Hirlen, 2009). Catatan perbandingan memperlihatkan bahwa frekwensi nadi dan
suhu tubuh kembali ke normal lebih cepat bila pasien berupaya untuk mencapai
tingkat aktivitas normal praoperatif secara mungkin. Akhirnya lama pasien
dirawat dirumah sakit memendek dan lebih murah, yang lebih jauh merupakan
keuntungan bagi rumah sakit dan pasien (Brunner & Suddarth, 2002).
2.2.2.
Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Ambulasi
Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanik tubuh dan
ambulasi, diantaranya status kesehatan, nutrisi, emosi, kebiasaan, gaya hidup
dan pengetahuan. Status kesehatan, dapat mempengaruhi sistem muskuluskletal dan
system persyarafan yang berupa menurunnya koordinasi. Perubahan tersebut dapat
di sebabkan karena penyakit, kurangnyakemampuan untuk melakukan aktifitas
sehari-hari dan lain- lain. Nutrisi, fungsi nutrisi bagi tubuh salah satunya
adalah untuk proses pertumbuhan tulang, dan memegang peran penting dalam
perbaikan sel. Kekurangan nutrisi bagi tubuh dapat menjadikan seseorang
mengenai kelemahan otot dan memudahkan terjadinya penyakit, seperti apabila
tubuh kekurangan kalsium maka akan memudahkan tubuh terjadi fraktur (Aziz
Alimul Hidayat, 2012).
Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan
perubahan dalam perilaku yang berdampak pada kemapuan untuk mekanik tubuh dan
ambulasi dengan benar. Kondisi demikian dapat terlihat apabila seseorang
mengalami perasaan yang tidak aman, tidak bersemanagat dan perasaan harga diri
yang rendah maka akan memudahkan terjadi perubahan dalam mekanik tubuh dan
ambulasi. Situasi dan kebiasaan, dapat mempengaruhi mekanik tubuh dan ambulasi,
hal ini terjadi apabila seseorang sering
mengangkat berat maka akan terjadi perubahan mekanik tubuh dan ambulasi.
Gaya hidup perubahan pola hidup seseorang dapat terjadi stres dan kemungkinan
besar akan menimbulkan kecerobohan dalam aktifitas sehingga akan terjadi gangguan
dalam koordinasi antara sistem
muskuluskletal dan neurologi energy, akhirnya akan terjadi perubahan dalam
penggunaan mekanik tubuh secara benar. Pengetahuan yang baik terhadap
penggunaan mekanik tubuh akan mendorong seseorang untuk mempergunaknnya secara
benar, sehingga akan mengurangi energi yang telah dikeluarkan, demikian
sebelumnya pengetahuan rendah dalam penggunaan mekanik tubuh akan menjadikan
seseorang beresiko terjadi angguan dalam koordinasi sistem neurologi dan
muskuluskletal (Musrifatul Uliyah, 2012).
Menurut Saryono (2008)
keterbatasan ambulasi akan menyebabkan otot kehilangan daya tahan tubuh,
penurunan massa otot dan penurunan stabilitas. Pengaruh penurunan kondisi otot
akibat penurunan aktivitas fisik akan terlihat jelas dalam beberapa hari. Massa
tubuh yang membentuk sebagian otot mulai menurun akibat peningkatan pemecahan
protein. Pada individu normal dengan kondisi tirah baring akan mengalami
keterbatasan gerak fisik (Perry & Potter, 2006).
2.2.3.
Prosedur Latihan Ambulasi
Latihan ambulasi dini
dapat dilakukan di atas tempat tidur, turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian
duduk di kursi roda, membantu berjalan, dan memindahkan pasien ke branchard. Adapun
Prosedur kerja latihan ambulasi adalah sebagai berikut :
a.
Duduk di atas tempat tidur
1)
Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
yang akan dilakukan pada pasien.
2)
Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan
disamping badannya dengan telapak tangan menghadap ke bawah.
3)
Berdirilah di samping tempat tidur dan
letakkan tangan pada bahu pasien.
4)
Bantu pasien untuk duduk dan beri
penopang atau bantal.
b.
Turun dari tempat tidur, berdiri,
kemudian duduk di kursi roda
1)
Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
yang akan dilakukan pada pasien.
2)
Pasang kunci kursi roda.
3)
Berdirilah menghadap pasien dengan kedua
kaki merenggang.
4)
Tekuk sedikit lutut dan pinggang anda.
5)
Anjurkan pasien untuk meletakkan kedua
tangannya di bahu Anda.
6)
Letakkan kedua tangan Anda di samping
kanan dan kiri pinggang pasien.
7)
Ketika kaki pasien menapak di lantai,
tahan lutut Anda pada lutut pasien.
8)
Bantu pasien berdiri tegak dan berjalan
sampai di kursi roda.
9)
Bantu pasien duduk di kursi roda dan
atur posisi agar nyaman.
c.
Membantu berjalan
1)
Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
yang akan dilakukan pada pasien.
2)
Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan
di samping badan atau memegang telapak tangan anda.
3)
Berdiri di samping pasien, pegang
telapak tangan dan lengan bahu pasien.
4)
Bantu pasien berjalan.
d.
Memindahkan pasien ke branchard
Prosedur
memindahkan pasien dari tempat tidur ke branchard dilakukan pada pasien yang
tidak dapat atau tidak boleh berjalan sendiri. Prosedur kerja :
1)
Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
yang akan dilakukan pada pasien.
2)
Atur branchard pada posisi terkunci.
3)
Lakukan prosedur ini dengan bantuan 2-3 perawat.
4)
Berdiri menghadap pasien.
5)
Silangkan tangan di depan dada.
6)
Tekuk lutut Anda kemudian masukkan
tangan ke bagian bawah tubuh pasien.
7)
Perawat pertama meletakkan tangan di
bawah leher atau bahu dan di bawah pinggang. Perawat kedua meletakkan tanagan
di bawah panggul dan kaki pasien.
8)
Angkat pasien bersama-sama dan pindahkan
ke branchard.
9)
Atur posisi pasien yang nyaman di
branchard.
2.2.4. Evaluasi Latihan Ambulasi
Evaluasi
keperawatan untuk masalah mekanika tubuh, dan ambulasi dapat dilihat dari
kemampuan pasien dalam menggunakan makanika tubuh dan ambulasi / mobilisasi
dengan baik, mennggunakan alat bantu gerak, memperbaiki cara menggapai benda,
naik dan turun, serta berjalan.
BAB 3
METODOLOGI
PENELITIAN
Rancangan penelitian adalah hasil ukur dari suatu/
tahap keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan suatu penelitian
biasa diterapkan (Nursalam, 2008). Penelitian ini merupakan penelitian
korelasional yaitu penelitian yang mengkaji hubungan antar variabel (Hidayat,
2007).
Penelitian ini dilakukan di RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru. Pemilihan RSUD Arifin Achmad sebagai tempat penelitian karena rumah
sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan yang memiliki fasilitas dan pelayanan
bedah ortopedik yang cukup lengkap diindonesia bagian barat, sehingga
memungkinkan mendapatkan jumlah sampel yang sesuai dengan kriteria penelitian
Dalam penelitian ini, populasinya adalah seluruh
pasien dengan pasca operasi fraktur ekstremitas bawah yang dirawat di Ruang
Cendrawasih II RSUD Arifin Achmad pada saat melakukan penelitian. ).
Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling adalah
suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi
sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat
mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008).
Besar sampel yang digunakan yaitu sebesar 30 orang, yaitu jumlah sampel minimal
yang harus dipenuhi dalam penelitian kuantitatif (Burn & Grove, 2005).
Alat ukur kuesioner penelitian, kuesioner ini
terdiri dari bagian pertama yang berisi pertanyaan demografi dengan pertanyaan
terbuka yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan dan jenis pembedahan.
Sedangkan jumlah pertanyaan pada kuesioner penelitian ada 40 pertanyaan terdiri
dari 20 pernyataan dukungan keluarga dengan menggunakan Skala Likert, SS
(Sangat sering), J (Jarang), TP (Tidak pernah), S (sering), 20 pertanyaan untuk
pengetahuan, pada pelaksanaan ambulasi dini menggunakan lembar observasi
sebanyak 5 pernyatan, observasi dilakukan setelah selesai melakukan uji
validitas dilakukan selama 3 hari dari jam 08-12.00 WIB, pada nyeri menggunakan
rentang/skala nyeri. Sebelum kuesioner disebarkan kepada responden, peneliti
melakukan uji coba instrumen yang dilakukan di RSUD Arifin Achmad sebanyak 20
responden, tujuannya untuk menguji validitas dan realibilitas dengan alat
pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti yang berupa kuesioner.
Dari uji validitas terhadap 20 responden (n=20) pada
tingkat kemaknaan 5% r tabel=0.468. Hasil analisis untuk pertanyaan
pengetahuan didapatkan nilai yang valid 0.508-0.795. Pada uji validitas
didapatkan 15 pertanyaan yang valid. Kemudian dilakukan uji realibilitas dengan
membandingkan alpha dengan r tabel dimana diperoleh alpha 0.914
didapatkan alpha > dari r tabel maka pertanyaan dinyatakan reliabel.
Pada hasil validitas pada dukungan keluarga dengan 20 pernyataan diperoleh r
hitung dengan rentang 0.468-0.831 dengan r tabel 0.468. pada uji
validitas didapatkan 10 yang valid. Kemudian dilakukan uji reliabel
membandingkan alpha dengan r tabel dimana diperoleh alpha 0.785 dengan r
tabel 0.468 didapatkan alpha > r tabel maka pernyataan dinyatakan
reliabel.
Defenisi
Operasional
Variable
|
Definisi
operasional
|
Alat
ukur
|
Skala
|
Hasil
ukur berdasarkan cut of point
|
Nyeri
|
Skala
nyeri pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah mempengaruhi pelaksanaan
ambulasi dini
|
Skala
nyeri
|
Ordinal
|
· Nyeri
ringan 0-3
· Nyeri
sedang 4-6
· Nyeri
berat 7-10
|
Pengetahuan
|
Tentang
pengertian ambulasi, manfaat ambulasi pada pasien ekstremitas bawah
|
Kuesioner
|
Ordinal
|
· Tinggi
median > 7
· Rendah
median < 7
|
Dukungan
keluarga
|
Dukungan
psikologi berupa motivasi dan bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga
dan orang lain dalam pelaksanaan ambulasi dini.
|
Kuesioner
|
Ordinal
|
· Positif
median > 29
· Negative
median < 29
|
Pelaksanaan
ambulasi
|
Tahapan
pelaksanaan ambulasi dini pada pasien fraktur pasca operasi ekstremitas
bawah.
|
Kuesioner
|
Checklist
|
· Dilakukan
: 5
· Kurang
dilakukan : 0-4
|
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan
faktor-faktor terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien pasca operasi
ekstremitas bawah. Setelah data terkumpul kemudian di tabulasi dalam tabel yang
sesuai dengan variabel yang hendak di ukur. Setelah proses tabulasi untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh di gunakan uji Chi-Square dimana
untuk menguji jenis kategorik dengan kategorik. Uji Fisher digunakan
untuk data yang tabelnya 2x2 yaitu pengetahuan dan dukungan keluarga sedangkan
untuk uji Pearson Chi-square digunakan untuk data skala nyeri karena
tabelnya 3x2 dengan status derajat kemaknaan (α=0,05). Apabila dari uji
statistik di dapatkan p value < α (0,05), maka dapat dikatakan ada
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien post operasi
fraktur ekstremitas bawah.
HASIL
PENELITIAN
Karakteristik
demografi responden . Distribusi
frekuensi karakteristik demografi responden
Karakteristik
|
Frekuensi
|
Presentase (%)
|
Umur :
Dewasa muda
Dewasa pengetahuan
Dewasa tua
Jenis kelamin :
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan :
SD
SMP
SMA
Perguruan tinggi
Pekerjaan :
Tidak bekerja
PNS / TNI / POLRI
Wiraswasta
Petani
Buruh
Lain-lain
Jenis pembedahan:
ORIF
Pen
|
16
4
10
20
10
7
9
11
3
9
0
17
4
0
0
16
14
|
53,3
13,3
33,3
66,7
33,7
23,3
30,7
36,7
10,7
30
0
56,7
13,3
0
0
53,3
56,7
|
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dari 30
responden menunjukkan umur responden dewasa muda sebanyak 16 responden (53,3%),
umur responden dewasa tua sebanyak 10 responden (33,3%) dan umur responden
dewasa pertengahan sebanyak 4 responden (13,3%). Sedangkan jenis kelamin
responden laki-laki sebanyak 20 responden (66,7%) dan responden perempuan
sebanyak 10 responden (33,7%). Untuk pendidikan responden SMA sebanyak 11
responden (36,7%), responden SMP 9 responden (30,7%), responden SD sebanyak 7
responden (23,3%) dan responden perguruan tinggi sebanyak 3 responden (10,7%).
Untuk jenis pekerjaan responden wiraswasta sebanyak 17 responden (56,7%),
responden yang tidak bekerja sebanyak 9 responden (3%) dan responden petani
sebanyak 4 responden (13,3%). Sedangkan untuk jenis pembedahan responden orif
sebanyak 16 responden (53,3%) dan jenis pembedahan pen sebanyak 14 responden
(56,7%). Hubungan faktor nyeri terhadap pelaksanaan ambulasi dini :
Tabel
7. Hubungan nyeri terhadap
terlaksananya ambulasi dini.
Nyeri
|
Ambulasi
dini
|
Jumlah
|
|||||
Dilakukan
|
Kurang
dilakukan
|
||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
||
1. Nyeri ringan
|
0
|
0
|
3
|
100
|
3
|
100
|
|
2. Nyeri sedang
|
2
|
10
|
18
|
90
|
20
|
100
|
|
3. Nyeri hebat
|
2
|
28,6
|
5
|
71,4
|
7
|
100
|
|
Total
|
4
|
13,3
|
26
|
86,7
|
30
|
100
|
Hasil analisa hubungan nyeri dengan terlaksananya
ambulasi dini pada pasien fraktur pasca operasi ekstremitas bawah menunjukkan
bahwa dari 30 orang responden terdapat nyeri sedang sebanyak 20 responden
(66,7%), yang melakukan ambulasi dini sebanyak 2 responden (10%) dan 18
responden yang tidak melakukan ambulasi dini , untuk nyeri hebat terdapat 7
responden (23,3%), yang melakukan ambulasi dini sebanyak 2 responden (28,8%)
dan 5 responden (71,4) yang tidak melakukan ambulasi dini sedangkan pada nyeri
ringan terdapat 3 responden (10%), yang melakukan ambulasi dini tidak ada sedangkan
yang tidak melakukan ambulasi dini sebanyak 3 responden (100%).
Hasil uji Chi-square dengan menggunakan uji Pearson
Chi-square menunjukkan p sebesar .357 dimana p > 0.05. Hal
ini berarti bahwa H0 gagal ditolak dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara nyeri dengan dengan terlaksananya ambulasi dini.
Tabel
8 : Hubungan pengetahuan terhadap
pelaksanaan ambulasi dini.
Pengetahuan
|
Ambulasi dini
|
Jumlah
|
|||||
Dilakukan
|
Kurang dilakukan
|
||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
||
1. Rendah
|
2
|
2,5
|
4
|
7,5
|
16
|
100
|
|
2. Tinggi
|
2
|
14,3
|
12
|
85,7
|
14
|
100
|
|
Total
|
4
|
13,3
|
26
|
86,7
|
30
|
100
|
Hasil analisa hubungan pengetahuan dengan
terlaksananya ambulasi dini pada pasien fraktur pasca operasi ekstremitas bawah
menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat16 responden (53,3%), yang melakukan
ambulasi dini sebanyak 2 responden (12,5%) dan 14 responden (87,5%) yang tidak
melakukan ambulasi dini. Sedangkan pada pengetahuan tinggi terdapat 14 reponden
(46,7%), yang melakukan ambulasi dini sebanyak 2 responden (14,3%) dan 12
responden (85,7%) yang tidak melakukan ambulasi dini.
Hasil uji Chi-square dengan menggunakan uji Fisher
menunjukkan p sebesar 1.000 dimana p > 0.05. hal ini
berarti bahwa H0 ditolak dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
pengetahuan dengan terlaksananya ambulasi dini. Hubungan faktor dukungan
keluarga terhadap pelaksanaan ambulasi dini.
Tabel
9 : Hubungan dukungan keluarga
terhadap terlaksananya ambulasi dini.
Dukungan
keluarga
|
Ambulasi dini
|
Jumlah
|
|||||
Dilakukan
|
Kurang dilakukan
|
||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
||
1. Positif
|
12
|
70,6
|
5
|
29,4
|
17
|
100
|
|
2. Negatif
|
2
|
15,4
|
11
|
84,6
|
13
|
100
|
|
Total
|
14
|
46,7
|
16
|
53,3
|
30
|
100
|
Hasil analisa hubungan dukungan keluarga dengan
terlaksananya ambulasi dini pada pasien fraktur ekstremitas bawah menunjukkan
bahwa dari 30 responden terdapat dukungan keluarga positif sebanyak 17
responden (56,7%), yang melakukan ambulasi dini sebanyak 12 responden (70,6%)
dan 5 responden (29,4%) yang kurang melakukan ambulasi dini. Sedangkan pada
responden yang mendapat dukungan negatif sebanyak 13 responden (43,4%), yang
melakukan ambulasi dini sebanyak 2 orang responden (15,4%) dan 11 responden
(84,6%) yang tidak melakukan ambulasi dini.
Hasil uji Fisher menunjukkan p sebesar
.004 dimana p < 0.05. hal ini berarti bahwa H0 diterima dan dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan terlaksananya
ambulasi dini.
BAB
4
PEMBAHASAN
Berdasarkan
dari hasil penelitian bahwa mayoritas umur responden pada pasien fraktur berada
pada dewasa muda sebanyak 16 responden (53,3%). Fraktur lebih sering terjadi
pada umur dibawah 45 tahun yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
(Reeves, Roux & Lockhart 2001). Jenis kelamin laki-laki sebanyak 20
responden (66,7%) dimana dari hasil penelitian dapat dilihat laki-laki lebih
dominan yang terkena fraktur ini dikarenakan laki-laki lebih cenderung memakai
kenderaan bermotor yang ugal-ugalan di jalan. Tingkat pendidikan mayoritas
responden berpendidikan SMA sebanyak 11 responden (36,7%). Menurut Notoadmodjo
(2003) juga mengatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi
pengetahuannya. Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang
yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan memppunyai pengetahuan yang
luas bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Jadi dapat
disimpulakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan
semakin tinggi pula tingkat pengetahuan yang dimiliki, karena semakin mudah
informasi yang dibutuhkan. Serta mayoritas responden pekerjaannya wiraswasta
sebanyak 17 responden (56,7%), menurut Evans dalam penelitian Putra (2010)
walaupun mayoritas penelitian yang bekerja yang mengalami fraktur, namun hal
tersebut tidak mempengaruhi terjadinya fraktur karena frajtur juga dapat
menimpa pekerjaan apa saja. Tipe pembedahan responden mayoritas ORIF sebanyak
16 orang (53,3%).
Hasil
uji statistik pearson Chi-square pada nyeri didapatkan nilai p=0.357
karena p > 0.05. dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara nyeri terhadap pelaksanaan ambulasi dini pada pasien fraktur
pasca operasi ekstremitas bawah. Ini tidak sejalan dengan pendapat Brunner
& Suddarth (2002) yang menyatakan bahwa kebanyakan pasien merasa takut
untuk bergerak setelah pasca operasi fraktur karena merasa nyeri pada luka
bekas operasi dan luka bekas trauma. Menurut Sjamsuhidat & Jong (2005)
menyatakan bahwa pasien menjadi ragu-ragu untuk melakukan batuk, nafas dalam,
mengganti posisi, ambulasi atau melakukan latihan yang diperlukan. Masalah lain
yang sering terjadi adalah ketika pasien merasa terlalu sakit atau nyeri atau
faktor lain yang menyebabkan mereka tidak mau melakukan ambulasi dini dan
memilih istirahat di tempat tidur (Kozier, dkk 2000). Pada penelitian ini
didapat responden mengalami nyeri sedang (Skala 0-3). Pada penelitian responden
mendapat terapi analgetik untuk mengurangi nyeri sehingga nyeri yang dirasakan
tidak berat.
Hasil
uji statistik Chi-square dengan Fisher didapatkan nilai
signifikan pengetahuan yaitu p = 1.000. karena p > 0.05 maka
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan terhadap
pelaksanaan ambulasi dini. Menurut Brunner & Suddarth (2002) yang
menyatakan bahwa pasien yang sudah diajarkan mengenai gangguan muskuloskeletal
akan mengalami peningkatan alternative penanganan. Informasi mengenai apa yang
diharapkan termasuk sensasi selama dan setelah penanganan misalnya pemasangan
alat fiksasi eksternal, latihan dan alat bantu ambulasi dapat memberanikan
pasien untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan dan penerapan
perawatan. Pada penelitian ini mayoritas responden mempunyai pengetahuan rendah
tentang ambulasi. Ini disebabkan kurangnya informasi yang didapatkan oleh
pasien selama dirawat di ruangan.
Hasil
uji statistik dengan Fisher pada dukungan keluarga didapatkan p =
0.04 karena p < 0.05 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara
dukungan keluarga dengan pelaksanaan ambulasi dini. Ini sesuai dengan pernyataan
Olson tahun 1996 dalam Hoeman tahun 2001 bahwa perlu banyak dukungan keluarga
yang memberikan dukungan dan bantuan pada pasien dalam melakukan latihan
ambulasi dini dapat memfasilitas proses penyembuhan. Ini juga sesuai dengan
Oldmeadow, dkk (2006) dalam penelitian Yanti (2010) yang menyatakan bahwa
dukungan keluarga yaitu orang terdekat dan perawat sangat mempengaruhi untuk
membantu pasien melakukan ambulasi dini. Dukungan keluarga merupakan sebagai
respon verbal dan non verbal, saran dan bantuan yang nyata atau tingkah laku
yang diberikan oleh orang-orang akrab dalam subjek didalam lingkungan sosialnya
atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional
atau berpengearuh pada tingkah laku penerimanya. Menurut asumsi peneliti dengan
adanya keluarga dan teman yang mendampingi pasien dapat memberikan motivasi dan
memberi rasa nyaman selama melaksanakan latihan ambulasi dini. Dukungan
keluarga dan melibatkan orang terdekat selama perawatan dapat meminimalkan efek
gangguan psikososial (Saryono, 2008).
BAB
5
PENUTUP
5.1. Simpulan
Hasil
uji statistik dengan Pearson Chi-square bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara nyeri terhadap pelaksanaan ambulasi dini dengan nilai
nyeri p=.357. Hasil uji statistik Fisher untuk pengetahuan
didapatkan nilai p=1.000, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara pengetahuan terhadap pelaksanaan ambulasi dini. Sedangkan
untuk hasil uji statistik Fisher dukungan keluarga didapatkan nilai p=.004,
maka dapat disimpulkan ada hubungan yang siginfikan antara dukungan keluarga
terhadap pelaksanaan ambulasi dini. Dari beberapa faktor yang di identifikasi
diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara faktor nyeri dan
pengetahuan terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien fraktur pasca operasi
ekstremitas bawah di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik
Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat, Aziz Alimul. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika.
Saputra, Lyndon. 2012. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang : Binarupa Aksara.
Sjamsuhidajat,
R & Jong, D.W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.
Smeltzer,
Suzanne C. & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth Edisi 8. Jakarta :
Salemba Medika.
Chanci,
Ester dkk. 2010. Patofisioologi Aplikasi
Pada Praktek Keperawatan. Jakarta : EGC.
Fauzi A,
Rahyussalim,dkk. 2012. Cidera Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : Departemen Bedah Divisi Orthopaedi dan
Traumatologi FKUI.
Ningsih,
Nurma dan Lukman. 2009. Askep pada Klien
dengan Gangguan Sistem Muskuloskletetal. Jakarta : Salemba Medika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar